Minggu, November 16, 2025
BerandaBERITASunyi di Cibeunying: Kisah Kusyono, Relawan yang Menemukan Kehidupan dan Kehilangan dalam...

Sunyi di Cibeunying: Kisah Kusyono, Relawan yang Menemukan Kehidupan dan Kehilangan dalam Gelap Longsor Majenang

Menitzone, Cilacap ][ Hujan gerimis turun seperti jarum-jarum kecil yang menusuk malam ketika notifikasi WhatsApp menyala di ponsel Kusyono, Kamis, 13 November 2025, pukul 20.16. Status singkat seseorang teman tanpa suara, tanpa penjelasan Panjang cukup untuk membuat dadanya serasa runtuh, “Longsor di Cibeunying”.

Ia tak butuh waktu untuk berpikir. Dari kediamannya di Perumnas Majenang , jaket tipis dikenakan dan dalam hitungan menit, ia sudah mengetuk pintu rumah temannya, Cucu Kurdi, sambil berkata dengan napas setengah terburu. “Ayo. Kita harus naik sekarang.” Ajak Kusyono ke temannya.

Keduanya melesat dengan motor ke arah bukit Cibeunying. Jalan ke Desa Cibeunying yang biasanya ramah kini berubah jadi lintasan gelap yang basah dan licin.

Angin membawa bau tanah basah, bau khas bencana yang belum sepenuhnya terjadi, tapi sedang membangun ancaman.

Sekitar satu kilometer sebelum titik longsor, jalan sudah tak bisa dilalui. Kusyono turun, helmnya disanggah di siku.

Di depan, dalam cahaya remang senter warga, sejumlah ibu-ibu menangis, suara mereka pecah dan saling menyalip.

Itu bukan tangis biasa. Itu erangan kehilangan suara yang hanya muncul ketika seseorang menyadari bahwa hidupnya mungkin tak lagi sama. Hujan masih turun, tapi rasa dinginnya kalah oleh keterpanggilan.

“Saya mendekat. Mereka bilang ada keluarga yang tertimbun, ada yang belum ditemukan,” cerita Kusyono kepada Menitzone.com. Di titik itu, ia tahu malamnya baru saja dimulai.

Hening yang tidak wajar, ketika Kusyono melangkah lebih jauh ke lokasi longsor, ia merasakan sesuatu yang ganjil. “Sunyi. Sunyi yang menakutkan,” Kusyono menceritakan.

“Tidak ada suara hewan, Mas. Tidak ada jangkrik, tidak ada apa-apa. Hanya hujan yang jatuh di tanah merah yang sudah bergerak,” ceritanya.

Deru mesin penolong tak terdengar. pekik kepanikan pun tidak ada. Hanya terlihat para relawan laki-laki kampung, TNI, Polri dan BPBD bergerak tanpa suara, seolah takut kalau berisik sedikit saja bukit itu akan kembali menyerang.

Penerangan sangat minim hanya senter dan beberapa lampu kecil yang terlihat jauh entah dimana seperti bintik harapan yang menolak padam.

“Di sana sangat henin,  semua orang syok. Tapi tangan-tangan mereka tetap bekerja,” kata Kusyono.

Hanya terdengar suara linggis menghantam puing. Suaranya seperti gema yang terlalu berat untuk dibawa malam itu.

Dalam himpitan tanah merah ada dua nyawa, dua takdir.

Sekitar pukul 21.30 wib, senter Kusyono menangkap sesuatu, celana pria, lusuh, tertimbun tanah merah.

“Masih hidup! Masih hidup!” teriak seseorang di belakangnya suara pertama yang benar-benar pecah malam itu.

Seorang lelaki paruh baya terlihat terhimpit reruntuhan tembok. Tubuhnya basah, wajahnya berlumur tanah, namun matanya masih membuka.

Matanya menatap kosong, seperti belum memahami bahwa dunia di sekelilingnya telah berubah menjadi reruntuhan.

Namun saat Kusyono menyorotkan senter lebih rendah, ia melihat sesuatu yang membuatnya menelan napas. Diantara kedua kaki lelaki itu, sesosok anak perempuan.

Remaja, mungkin sekitar 14–16 tahun. Tubuhnya sudah dingin. Rambutnya menempel di tanah berlumpur. Tidak bergerak lagi.

“Mungkin itu anaknya.” suara Kusyono merendah. “Seperti dia sedang melindungi anaknya.”

Ada hening panjang setelah itu. Bukan hening karena takut, tapi hening yang lahir dari rasa hormat terhadap tragedi.

“Saya merinding.” katanya pelan. “Waktu kami mengangkat satu per satu, saya lihat mata ayahnya. Masih terbuka, tapi dia tak bisa berkata apa-apa.

Dia terlalu syok,”. Di tengah hujan, lumpur, dan kegelapan, para relawan mengangkat keduanya, yang hidup dan yang sudah pergi dengan hati-hati, seperti sedang mengangkat lembaran paling rapuh dari kisah manusia.

Tak lama setelahnya, hujan berubah menjadi deras. Terlalu deras. Lampu-lampu kecil mulai memperlihatkan tanah yang bergerak perlahan.

Relawan dipaksa mundur.”Kami mundur pelan-pelan. Tidak ada yang berani lari. Semua tahu tanah itu bisa ambruk lagi kalau kita gegabah,” ujar Kusyono.

Menjelang sekitar pukul 12 malam, seorang perempuan paruh baya ditemukan sudah tak bernyawa dan sekitar pukul 01.00 dini hari malam itu, operasi dihentikan.

Langit seperti memaksa malam itu tetap menyimpan sebagian rahasianya hingga pagi. “Kami menjauh. Tapi hati kami tertinggal di sana.” ucap Kusyono.

Longsor Cibeunying bukan hanya meruntuhkan tanah. Ia meruntuhkan keheningan, membelah malam menjadi kisah yang tak akan hilang dari ingatan siapa pun yang berada di sana.

Bagi Kusyono, malam itu memberikan sesuatu yang tak bisa ia lupakan, bahwa dalam gelap, manusia bisa menjadi cahaya. Bahwa antara kehidupan dan kehilangan hanya ada sekat tipis yang bisa runtuh kapan saja.

Dan bahwa para relawan orang-orang tanpa seragam khusus, tanpa upah, tanpa kamera adalah penjaga terakhir harapan dalam tragedi.

“Apa yang saya lihat malam itu tidak akan hilang, Mas,” katanya pelan.
“Tapi saya bersyukur, meskipun gelap, masih ada tangan-tangan yang mau menyelamatkan.” Kusyono menutup cerita. (Agus Adi).

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Most Popular

Recent Comments