Menitzone, Jakarta ][ Kuatir akan minimnya anggaran yang berdampak pada mutu pelayanan kesehatan reprorduksi dan perlindungan sosial, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), menggelar kuliah umum di Atmajaya Jakarta pada Jumat, 18/10/2024 untuk membedah Penghapusan Mandatory Spending dalam UU Kesehatan.
Demi mendapatkan masukan dan rekomendasi yang falid ISKA menghadirkan tiga pakar dan praktisi kesehatan sebagai narasumber.
Dr. drg. Paulus Yanuar, M.Kes sebagai pembicara pertama menyampaikan beberapa hal yang menjadi isu kontroversi diantaranya aborsi, kelompok berisiko dan sunat pada perempuan.
Selain itu, Paulus juga menyatakan bahwa penyakit menular seksual juga menjadi ancaman bagi kesehatan reproduksi itu sendiri.
Dia berharap pembiayaan terhadap kesehatan tetap menjadi salah satu prioritas pemerintah. “Pada saat ini, RABPN tahun 2025 dianggarkan sebanyak 5,4% dan itu diharapkan dapat dipertahankan dan diserap untuk meningkatkan kesehatan masyarakat”, ujar alumnus Universitas Mustopo Beragama.
Sementara dr. Zubaidah Elvia, MPH Direktur Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kesehatan yang hadir secara daring menyatakan bahwa mandatory spending itu bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan yang tentu berdampak pada peningkatan kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat.
Sedangkan pembicara ketiga dr. Ekarini Aryasatiani SpOG mengatakan dampak penghapusan madatory spending akan memperburuk kondisi kesehatan masyarakat secara umum, termasuk penyakit seperti infeksi, anemia, diabetes, hipertesi, kanker dan lain-lain.
Ahli Kandungan yang menghabiskan sebagian waktu pelayanannya di NTT ini menyatakan ada persoalan lain dalam kesehatan Indonesia yaitu ketimpangan akses di daerah terpencil serta distribusi tenaga kesehatan masih menjadi maslah.
Usulan konkret dr. Eka adalah pengembangan kebijakan berdasarkan masyakarat yang mempetimbangkan keutuhan lokal.
Selain itu penting juga untuk kesehatan reproduksi meskipun dalam posisi keterbatasan anggaran. Salah satunya adalah melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak.
Kuliah Umum ISKA menyimpulkan suatu sikap keprihatinan atas penghapusan mandatory spending dalam Undang-Undang Kesehatan yang berpotensi melemahkan dukungan terhadap sektor kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi dan perlindungan sosial.
Kesehatan reproduksi merupakan hak asasi manusia yang fundamental dan harus dijamin oleh negara. Berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), akses terhadap layanan kesehatan reproduksi masih belum merata, dengan sekitar 33% perempuan di Indonesia melaporkan kesulitan mengakses layanan kesehatan reproduksi yang layak, terutama di daerah pedesaan dan terpencil.
Ketua Presidium Pengurus Pusat ISKA Luky A Yusginatoro juga menilai bahwa kesehatan reproduksi adalah hak dasar yang harus dijamin negara. Berdasarkan laporan WHO dan UNFPA, angka kematian ibu di Indonesia masih tergolong tinggi, mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup pada 2022, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.
“Penghapusan mandatory spending dapat memengaruhi akses terhadap layanan kesehatan ibu, perawatan kehamilan, serta layanan kontrasepsi yang sangat penting dalam menurunkan angka kematian ibu,” ujar Luky.
Menurut Ketum ISKA, setiap kebijakan yang melemahkan sektor kesehatan reproduksi sama dengan melanggar martabat dan hak dasar manusia, terutama perempuan.
Perlunya Kebijakan yang Adil
Kuliah umum itu kemudian merekomendasikan agar ISKA mendesak pemerintah untuk merumuskan alternatif kebijakan yang tetap menjamin anggaran kesehatan, khususnya untuk kesehatan reproduksi dan perlindungan sosial.
Alokasi anggaran yang adil dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk menjamin keberlangsungan program-program kesehatan yang vital bagi masyarakat.
Berdasarkan studi dari Kementerian Kesehatan, hanya 40% dari total anggaran kesehatan di daerah-daerah yang dialokasikan secara optimal untuk program-program prioritas. (ben)